Bersyukur Peduli Sesama

Kamis, 21 Januari 2010

Jika Lembaga-Lembaga Amil Zakat Dibubarkan


Beberapa saat yang lalu tersebar kabar bahwa pemerintah mengusulkan agar Badan Amil Zakat (BAZ) dijadikan sebagai wadah tunggal dalam pengelolaan zakat di Indonesia. Melalui Departemen Agama, pemerintah telah menggulirkan wacana itu secara terbuka lewat usulan revisi Undang-Undang (UU) No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat kepada DPR RI.

Keinginan pemerintah untuk menjadikan BAZ sebagai satu-satunya lembaga pengelola zakat di Indonesia dari tingkat nasional hingga tingkat kelurahan/desa menyulut kontroversi dan mengundang banyak penolakan dari banyak pihak. Penolakan terhadap usulan tersebut bergulir semakin deras, salah satunya di laman jejaring facebook. Di sana muncul grup bernama ''Gerakan 1.000.000 Umat Tolak Pembubaran LAZ (Lembaga Amil Zakat) Dompet Dhuafa, PKPU, RZI dll''. Hingga Rabu (30/12/09), jumlah pendukung gerakan penolakan pembubaran LAZ itu sudah mencapai 30.557 anggota.

Sebenarnya, akan sangat baik jika memang LAZ-LAZ yang ada disatukan dan ditangani dengan manajemen yang baik dan amanah, akan tetapi dengan sistem yang benar menurut syariat Islam karena pada dasarnya zakat merupakan bagian dari syariat Islam. Akan tetapi jika ditilik lebih jauh, mengapa syariat yang diberlakukan hanyalah syariat yang “menghasilkan uang” saja, tidak menggunakan syariat dalam segala aspek baik kehidupan pribadi, kehidupan masyarakat dan bernegara?

Tentunya hal ini menjadi koreksi bagi pemerintah. Dan jika memang usulan tersebut disetujui maka pemerintah pun menjadi wajib mengontrol penuh kinerja BAZ yang menangani zakat secara nasional, jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, sebab berulangkali masyarakat dikecewakan dengan kinerja pemerintah, termasuk “mega skandal” Bank Century yang akhir-akhir ini mulai terkuak bahkan melibatkan instansi besar pemerintah.

Jika memang LAZ-LAZ dibubarkan, berarti pemerintah dengan BAZ-nya menyatakan telah siap untuk melanjutkan program-program LAZ-LAZ yang ada. Dan, kami pun selaku bagian kecil dari LAZ akan mengucap Alhamdulillah, karena beban kami berkurang dan memperingan tanggung jawab kami di dunia dan di akhirat kelak. Dan, masyarakat-lah yang akan menilai kinerja pemerintah, sebagai konsekuensi pembubaran LAZ-LAZ yang ada. Kami menyadari memang masih amat sangat jauh jika dibandingkan dengan kehidupan shahabat dalam hal menyantuni fakir miskin, semoga jika memang LAZ dibubarkan, pemerintah bisa meneladani para shahabat Rasulullah n dalam segala hal termasuk dalam menyantuni fakir miskin.

Sebagai gambaran beratnya tugas ini ialah kisah sahabat Rasulullah n yang kaya hikmah yang mungkin hari ini sudah tidak ada lagi hal semisal. Pada suatu malam, Khalifah Umar berjalan berkeliling perkampungan untuk mengetahui kondisi rakyatnya. Kemudian ia mendapati sebuah gubuk reot dan terdengar suara tangis anak-anak di dalamnya. Dari celah gubuk reot itu beliau melihat seorang ibu yang tengah berusaha menenangkan anaknya yang menangis karena kelaparan. Rupanya anaknya menangis karena kelaparan sementara sang ibu tidak memiliki apapun untuk dimasak malam itu.

Umar mendengar si Ibu berkata kepada anaknya. “Berhentilah menangis, sebentar lagi makanannya matang.” Namun, kemudian Umar terperanjat ketika melihat bahwa yang dimasak oleh ibu itu adalah sebuah batu. Sandiwara sang ibu yang berpura-pura memasak itu hanya untuk merendam tangis anaknya yang tak henti karena rasa lapar. Melihat pemandangan itu Umar sangat sedih dan merasa berdosa. Ditemani pengawalnya, Umar pergi ke gudang penyimpanan makanan negara dan mengangkut sendiri karung gandum. “Ijinkan saya yang akan membawa dan memanggul gandum itu” pinta sang pengawal. “Biarlah aku yang mengangkat dan memanggul gandum ini. Ini adalah tanggung jawabku. Dan aku akan menebus dosa-dosaku yang telah menyengsarakan rakyatku” kilah Umar bin Khathab. Begitulah Umar bin Khathab menjalankan pemerintahannya. (ahs—dari berbagai sumber).

Mengapa Kita Perlu Lembaga Zakat?


“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan (dari kekikiran dan cinta berlebihan kepada harta) dan menyucikan (menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati) mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah : 103).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa zakat diambil dari orang-orang yang berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahik). Dalam khazanah hukum Islam, yang bertugas mengambil zakat adalah para petugas zakat (amil). Menurut Imam Qurthubi, amil adalah orang-orang yang ditugaskan oleh imam (pemerintah) untuk mengambil, menuliskan, menghitung, dan mencatat harta zakat yang diambil dari para muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.

Amil zakat adalah profesi yang mulia, Allah l mencantumkan namanya di dalam Al-Qur’an. Kemuliaan amil bukan sekadar ia menjadi pengelola amanah orang mukmin, namun ia juga menjadi media tercapainya keharmonisan antara si kaya dengan si miskin dengan menjadi mediator bagi sirkulasi zakat antara keduanya.

Harta yang dimiliki, pada hakikatnya adalah milik Allah l. Allah-lah yang kemudian melimpahkan amanah kepada para pemilik harta, agar dari harta itu dikeluarkan zakatnya. Di sinilah sikap amanah dipupuk, sebab seorang muslim dituntut menyampaikan amanah kepada ahlinya. Sikap amanah, tidak hanya tumbuh dalam diri orang yang berzakat, tetapi juga pada para petugas atau amil zakat. Yakni dalam membagi dan menyalurkan seluruh harta zakat kepada yang berhak. Dahulu, dalam hal operasional zakat, Rasulullah n dan para sahabatnya menerapkan seleksi ketat dalam memilih para amil zakat.

Kriteria sifat standar yang dipegang Rasulullah n dan para sahabatnya, pertama adalah orang yang benar-benar memiliki sifat amanah, mengerti permasalahan dan kehidupannya mencukupi. Rasulullah n bahkan memberi motivasi kepada para amil zakat dalam sabdanya, "Amil sedekah (zakat) yang melakukan tugasnya dengan ikhlas dan semata karena Allah, ia laksana orang yang berperang di jalan Allah, sampai ia kembali lagi ke rumahnya." (HR. Ahmad).

Pada masa Rasulullah n yang diangkat menjadi amil zakat adalah Baginda Umar bin Khattab ra. Rasulullah n juga pernah mempekerjakan seorang pemuda dari Suku Asad, yang bernama Ibnu Lutaibah untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim. Beliau juga pernah mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk menjadi amil zakat. Selain Ali bin Abi Thalib, Rasulullah n juga pernah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, yang di samping bertugas sebagai da’i (mendakwahkan Islam secara umum), juga mempunyai tugas khusus menjadi amil zakat. Ketika Umar menjadi khalifah, beliau mengangkat Ibnus Sa'dy Al-Maliki sebagai pengumpul zakat.

Hal ini diriwayatkan oleh Busr bin Sa'id dari Ibnus Sa'dy Al-Maliki, yang berkata, ''Umar pernah mengangkat aku untuk mengurus zakat (amil). Ketika usai pekerjaanku dan aku laporkan kepadanya, maka dia kemudian mengirimi aku upah. Maka aku katakan, 'Sungguh, aku melakukan tugas ini karena Allah.' Maka Umar berkata, 'Ambillah apa yang telah diberikan kepadamu. Aku dulu juga pernah menjadi amil Rasulullah n, dan beliau memberi upah untuk tugas itu. Ketika aku katakan kepada beliau seperti yang kau katakan tadi, maka Rasulullah SAW berkata, bila engkau diberi sesuatu yang tak kau pinta, maka makanlah dan sedekahkanlah.'” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Sejarah perjalanan profesi amil zakat telah ditorehkan berabad-abad silam. Dan telah dicontohkan oleh Rasulullah n dan para sahabatnya. Di Indonesia sejarah kelahiran amil zakat telah digagas sejak 13 abad yang silam. Saat Islam mulai masuk ke bumi nusantara. Sejak itu cahaya Islam menerangi tanah air yang membentang dari Aceh hingga Papua. Setahap demi setahap masyarakat di berbagai daerah mulai mengenal, memahami dan akhirnya mempraktekkan Islam. Namun dalam perjalanan yang telah melewati masa berabad-abad tersebut, praktek pengelolaan zakat masih dilakukan dengan sangat sederhana dan alamiah. Setelah melewati fase pengelolaan zakat secara individual, sebagai kaum muslimin di Indonesia menyadari perlunya peningkatan kualitas pengelolaan zakat. Masyarakat mulai merasakan perlunya lembaga pengelola zakat, infak dan sedekah.

Zakat Sebagai Salah Satu Pilar Islam

Perhatian Islam terhadap kaum yang miskin sangat besar sekali dan merupakan hal prinsipil. Untuk merealisasikan hal tersebut Islam menjadikan zakat menjadi pilar pokok ketiga setelah shalat, sebagaimana dapat disimak dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang artinya: “ Islam dibangun di atas lima tiang pokok, yaitu kesaksian bahwa tiada ilah (yang berhak untuk disembah) selain Allah dan Muhammad Rasulullah; mendirikan shalat; membayarkan zakat; berpuasa dalam bulan Ramadhan; dan naik haji bagi yang sanggup.” Di dalam Al-Qur’an dinyatakan oleh Allah setiap perintah shalat senantiasa diikuti dengan zakat. Hal ini tentu menunjukkan betapa eratnya hubungan antara keduanya. Bahkan Islam mempersyaratkan kepada orang yang masuk Islam dengan mengerjakan shalat dan membayar zakat. Lihat Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 5 dan 11).

Beberapa orang sahabat Nabi pun menyatakan tentang zakat sebagai berikut; Abdullah bin Abbas menyatakan, “Anda sekalian diperintahkan menegakkan shalat dan membayarkan zakat. Siapa yang tidak mengeluarkan zakat maka shalatnya tidak akan diterima.” Berikutnya Jabir bin Zaid mengatakan, “Shalat dan zakat adalah kewajiban dalam satu paket, keduanya tidak terpisahkan. Allah tidak akan menerima shalat kecuali dibarengi dengan zakat.” Bahkan Abu Bakar Ash-Shidiq salah seorang kibarus shahabat ketika menjadi Khalifah mengatakan, “Demi Allah, saya akan memerangi siapa yang memisahkan shalat dan zakat.”

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tanpa membayarkan zakat maka seseorang tidak dapat dianggap sebagai seorang yang beriman (Al-Qur’an Surat Al-Mukminun ayat 1-4, dan Surat An-Naml ayat 2-3). Di dalam Surat Luqman ayat 3-4 Allah lebih menegaskan bahwa tanpa membayarkan zakat, seseorang itu tidak dapat masuk ke dalam golongan orang-orang yang berbuat baik dan orang-orang yang memperoleh petunjuk. Demikian juga dalam surat Al-Baqarah ayat 177 dinyatakan bahwa orang yang tidak membayarkan zakat tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang baik, jujur, dan taqwa.

Telah jelas bagi kita bahwa zakat merupakan salah satu perkara yang urgen dalam Islam. Pada zaman kekhalifahan Islam, orang yang tidak mau membayar zakat dinyatakan sebagai pembangkang dan diperangi oleh negara sampai mereka mau membayarnya sebagaimana perkataan Abu Bakar tersebut di atas. Padahal saat itu amat dekat dengan zaman Rasulullah n dan panji-panji Islam berkibar dengan gagahnya. Sistem kehidupan ditata dengan aturan Islam sehingga menjadi amat mudah bagi seseorang yang ingin melaksanakan segala hal yang disyariatkan dalam Islam.

Amat berbeda dengan kondisi sekarang, hukum dan perundang-undangan yang dipakai bukanlah syariat Islam. Bagi umat Islam yang tidak membayar zakat tidak diberlakukan sanksi, tidak ada pula tekanan dari pemerintah untuk melaksanakan syariat zakat tersebut. Ditambah pula tingkat kesadaran berzakat kaum muslim di Indonesia hari ini masih sangat kurang. Hasil survey PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center) menyebutkan bahwa potensi dana zakat di Indonesia, yang populasinya sekitar 87% muslim, sangat besar hingga mencapai 9,09 triliun rupiah pada 2007. Sumber yang lain mengatakan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 20 triliun per tahun. Namun dari jumlah itu, yang tergali baru Rp 500 miliar per tahun (berdasarkan asumsi tahun 2006).

Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang ada di Indonesia ini belumlah seberapa dalam memfasilitasi umat dalam menjalankan syariat zakat tersebut dan menggali segala potensinya. Padahal potensi zakat yang sedemikian besar tersebut jika dikelola dengan baik akan menghasilkan kemaslahatan umat yang luar biasa. Jika memang bisa direalisasikan, mungkin tidak ada lagi kita jumpai orang yang kelaparan di Indonesia ini.

Subhanallah, itu baru salah satu syariat dalam Islam yang dilaksanakan, jika memang setiap aspek kehidupan diatur dengan aturan Islam, tentu akan membawa kita kepada peradaban yang jauh lebih maju.

Perlunya Lembaga Zakat

Rendahnya tingkat kesadaran umat untuk berzakat memang perlu mendapat perhatian yang serius, belum lagi kondisi pemerintah yang tidak memberikan perhatian bagi pelaksanaaan syariat zakat bagi warga mayoritas, yang akhirnya menambah jauhnya implementasi aturan syariat khususnya syariat zakat bagi umat Islam di Indonesia. Mengapa perlu perhatian serius? Sebab, zakat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang telah memenuhi syaratnya. Perkara wajib jika ditinggalkan maka pelakunya akan berdosa. Bahkan apabila tidak menunaikan zakat itu karena juhud (menentang) maka bisa mengakibatnya pelakunya keluar dari Islam.

Mestinya untuk meningkatkan kesadaran umat untuk berzakat tidak cukup hanya dengan program-program penyuluhan dari lembaga-lembaga dakwah saja yang mengajak umat untuk melaksanakan kewajiban zakat, tetapi juga harus dibarengkan dengan adanya lembaga-lembaga zakat yang menangani secara amanah dan profesional.

Dengan demikian, kewajiban zakat bagi umat Islam benar-benar dapat terasa kemanfaatannya bagi umat dan dapat membawa kemaslahatan yang lebih luas. Mestinya bagi kita umat Islam tidak ragu-ragu lagi dengan syariat Islam yang telah terbukti membawa umat kepada kesejahteraan, baik di dunia maupun kelak di akhirat. (dari berbagai sumber).